JAKARTA, KOMPAS.com – Menurut survey terbaru Pricewaterhouse Coopres (PwC), pelaku industri jasa keuangan di Indonesia masih belum memprioritaskan penggunaan blockchain, sebuah teknologi basis data terdistribusi untuk optimalisasi proses bisnis.
Padahal, peluang laba bagi institusi jasa keuangan yang menggunakan blockchain akan lebih besar sebab beroperasi lebih efisien. Tidak saja dapat menghemat biaya dalam jumlah besar namun pengguna platform tersebut juga mendapatkan keuntungan melalui transparansi yang lebih baik.
Dalam laporan Global FinTech PwC terbaru berjudul ‘Blurred Lines: How FinTech is shaping Financial services’ terungkap 56 persen responden mengakui pentingnya teknologi ini. Sementara 57 persen mengatakan mereka ragu-ragu atau kecil kemungkinan untuk merespon tren ini.
Laporan ini dibuat berdasarkan sebuah survei terhadap 544 responden, yang tersebar di 46 negara. Responden terdiri dari CEO, Kepala Bagian Inovasi, CIO dan pejabat tinggi manajemen yang terlibat di dalam transformasi digital dan teknologi di seluruh industri jasa keuangan.
“Ketika dihadapkan dengan teknologi yang disruptif, perusahaan terkemuka di dunia berhasil melaluinya dengan menanamkan teknologi tersebut ke dalam DNA mereka, sebagai bagian dari proses ‘business as usual’,” kata Haskell Garfinkell, FinTech co-leader, PwC di Amerika Serikat (AS), dalam rilis pers.
Dalam pandangan PwC, kurangnya pemahaman akan teknologiblockchain akan menimbulkan risiko signifikan terhadap model bisnis yang ada saat ini.
Dalam survey ini, tim Global Blockchain PwC telah mengidentifikasi lebih dari 700 perusahaan yang memasuki pasar ini, 150 dikategorikan sebagai perusahaan yang ‘perlu dicermati’ dan 25 diperkirakan akan muncul sebagai pemimpin.
“Survei kami menunjukkan hasil yang tak dapat diabaikan, bahwa 25% perusahaan tidak berurusan dengan FinTech sama sekali. Mengingat semakin tingginya kecepatan perubahan yang terjadi, tidak ada perusahaan jasa keuangan yang dapat bersantai-santai,” kata Manoj Kashyap, Global Financial Services FinTech Leader PwC.
Tantangan
Survei PwC menunjukkan bahwa bentuk kolaborasi terbanyak dengan perusahaan FinTech adalah kemitraan bersama (32 persen). Menurut PwC, hal ini merupakan indikasi bahwa firma jasa keuangan belum siap untuk mempertaruhkan segalanya dan berinvestasi penuh pada FinTech.
Ketika ditanya tentang tantangan yang dihadapi dalam menangani perusahaan FinTech, sebanyak 53 persen lembaga jasa keuangan tradisional menyebut keamanan TI, ketidakpastian dari segi peraturan (49 persen) dan perbedaan model bisnis (40 persen).
Dari sudut pandang perusahaan FinTech, ada tiga tantangan utama ketika berhadapan dengan firma jasa keuangan tradisional. Yakni, adanya perbedaan manajemen dan budaya (54 persen), proses operasional (47 persen) dan ketidakpastian dari segi peraturan (43 persen).
“PwC mengestimasikan bahwa dalam waktu 3-5 tahun ke depan, investasi kumulatif dalam skala global pada FinTech dapat melampaui 150 miliar dollar AS, dan perusahaan lembaga keuangan dan teknologi berusaha mengungguli satu sama lain agar dapat bermain di pasar,” kata John Shipman, Asia FinTech Leader di PwC.
Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/03/17/071500226/PwC.Institusi.Jasa.Keuangan.Indonesia.Remehkan.Penggunaan.Blockchain