Sejak kelahiran mata uang digital bitcoin dan teknologi blockchain pada 2008, dua jargon itu cukup kontroversial, karena sifatnya yang desentralistik, khas arus informasi era Internet, dan lagi meniadakan peran bank dan lembaga keuangan lainnya dalam mentransfer uang digital. Berasaskan teknologi peer-to-peer, proses kirim uang semakin cepat, murah, luas, dan aman daripada menggunakan layanan perbankan biasa, terlebih-lebih memanfaatkan jasa Western Union.
Namun demikian, hingga saat ini, ratusan perusahaan internasional, seperti Microsoft, Amazon, Intel, Barclays, Citi, Visa, MasterCard, bahkan Western Union dan lain-lain kian banyak menggelontorkan modal untuk meneliti dan mengembangkan teknologi blockchain, yang menjadi fondasi bitcoin, agar kelak dapat diterapkan di perusahaan secara total. Kemudian di sisi saintifik, MIT kian dalam menelesuri pelbagai potensi teknologi keuangan disruptif itu.
Hingga tulisan ini disusun, harga 1 bitcoin setara dengan Rp. 8.500.000, naik sekitar 2 juta rupiah kurang dari 30 hari (coingecko.com/coindesk.com/Indodax.com). Bitcoin dibayang-bayangi oleh mata uang digital lainnya, seperti Ethereum, Litecoin, dan DAO.
Tidak seperti Jepang yang sudah melegalkan bitcoin yang posisinya setara dengan yen, Indonesia sendiri melalui Bank Indonesia masih gamang memandang bitcoin ini. Padahal di luar negeri, termasuk Uni Eropa, daripada melarangnya, mereka justru membuat badan khusus untuk meneliti ini. Warga Indonesia sendiri, berdasarkan data dari Indodax.com, jumlah pengguna bitcoin masih sedikit, pun demikian dengan jumlah transaksinya. Ini menandakan kesadaran finansial dan teknologi masyarakat Indonesia masih minim. Penyebab di antaranya, tentu saja tentang referensi bitcoin yang masih banyak dalam bahasa Inggris dan relatif sulit dipahami. Website-website khusus tentang bitcoin berbahasa Indonesia, memang sudah ada, tetapi kurang sistematis memetakan dari A-Z soal mata uang masa depan ini.
Buku Mengenal Bitcoin & Cryptocurrency yang ditulis Dimaz A. Wijaya ini terhitung sangat berani, karena topik seperti ini kurang populer, tetapi langka kalau dinilai dari sudut pandang pencinta bitcoin, padahal potensi teknologi blockchain adalah masa depan teknologi keuangan dan kelak digunakan luas, sebagaimana Internet saat ini. Para bankir, praktisi keuangan, peneliti komputer, programmer, dan terlebih-lebih pemerintah patut membaca buku ini sebagai basis perspektif menilai mata uang ini, bukan sekadar mencibir berdasarkan sumber yang dangkal. Menurut survey terbaru Pricewaterhouse Coopres (PwC), sebagaimana yang dikutip dari Kompas.com, pelaku industri jasa keuangan di Indonesia masih belum memprioritaskan penggunaan blockchain, sebuah teknologi basis data terdistribusi untuk optimalisasi proses bisnis.
Dengan riset yang baik, teknologi blockchain justru mampu sebagai solusi bagi e-voting, karena sangat aman berbanding teknologi e-voting yang ada saat ini, termasuk penerapan e-voting di Estonia.
Dimaz yang lulusan S2 di Monash University, Australia ini, punya beragam referensi dalam menulis, termasuk buku-buku yang ditulis oleh pakar-pakar bitcoin, termasuk Andreas Antonopoulos.
Selain bitcoin, penulis juga membahas secara mendalam soal Altcoin, alias mata-mata uang digital lain selain bitcoin, seperti litecoin, dogecoin, DAO, ethereum dan lain-lain. Di buku ini Anda menemukan seluk beluk mining untuk menghasilkan mata uang digital. (redaksi)
Data Buku
Judul: Mengenal Bitcoin & Cryptocurrency
Tahun terbit: 2016
Pengarang: Dimaz A. Wijaya
Kata Pengantar: CEO PT. Bitcoin Indonesia, Oscar Darmawan
Editor: Fauzan Nur Ahmadi, Vinsensius Sitepu
Penerbit: Puspantara.org, Medan
Format buku: Digital (Google Play Book)
Jumlah halaman: 102 halaman